Jumat, 23 April 2010

Pemberontakan PKI 19 September 1948

Pemberontakan PKI 19 September 1948 (1)
Muso Datang untuk ”Menertibkan Keadaan”

Oleh
Himawan Soetanto


Tahun 1948 merupakan tahun perjuangan terberat bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaannya. Kesatuan dan persatuan yang sangat diperlukan menghadapi Belanda mendapatkan tikaman dari belakang. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun September 1948 dilancarkan ketika Indonesia sedang bersiap menghadapi agresi Belanda yang bermaksud menguasai daerah RI yang masih tersisa di Jawa dan Sumatera.
Persetujuan Renville 17 Januari 1948 memicu krisis politik. PM Amir Syarifudin dan kabinetnya dianggap tidak becus. Pada 23 Januari 1948, Presiden Soekarno membubarkan kabinet dan menunjuk Wakil Presiden Mohammad Hatta membentuk kabinet. Sayap kiri membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Amir Syarifudin dipilih menjadi ketuanya. FDR yang beroposisi terhadap pemerintah Hatta antara lain menuntut politik berunding dihentikan sampai Belanda menarik diri secara keseluruhan dari Indonesia.
Di tahun 1948 itu, Angkatan Perang RI (dan pegawai negeri) melakukan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa). Kebijakan yang digariskan Kabinet Hatta adalah menyusun tentara yang lebih efisien dan berada di bawah satu komando, dan menjadikannya alat negara yang tangguh terhadap agitasi politik dari luar. Hatta ingin memotong garis politik kelompok FDR. ReRa Angkatan Perang berhasil memperkecil jumlah TNI, dari tujuh divisi menjadi empat, tapi daya tempurnya lebih baik.

Perang Gerilya Semesta
Dengan ReRa ini, TNI-Masyarakat yang dibangun Amir Syarifudin ketika ia masih menjabat Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri, dibubarkan. TNI-Masyarakat ini merupakan tandingan bagi TNI yang semula hanya merupakan Biro Perjuangan di Kementerian Pertahanan. Biro ini dan TNI-Masyarakatnya didominasi perwira-perwira yang berhaluan komunis. Kesatuan-kesatuan yang dipengaruhinya dan sempat dilengkapi persenjataan terbaik ini diharapkan menjadi andalan kekuasaan politik sayap kiri itu. Setelah dibubarkan pada 29 Mei 1948, kesatuan ex TNI-Masyarakat dilebur ke dalam Divisi-Divisi TNI, pada Kesatuan Reserve Umum (KRU), sebagai kekuatan cadangan strategis RI.
Rekonstruksi juga diadakan dengan peran strategis TNI untuk menghadapi agresi militer Belanda. Strateginya diubah, tidak lagi menggunakan konsep perang yang lama. Konsep lama yang konvensional menjadikan pengalaman pahit bagi TNI yang dipukul telak oleh Belanda. Dengan konsep yang baru, serangan musuh tidak akan lagi dihadapi langsung secara mati-matian.
Perlawanan awal TNI dilakukan sebagai penghambat guna memberi peluang induk kekuatan TNI dan unsur-unsur pemerintah melakukan persiapan di daerah perlawanan-wehrkreise untuk melancarkan perang wilayah. Akan digelar perang gerilya semesta di seluruh pulau Jawa dan di wilayah yang luas di Sumatera untuk jangka waktu yang tidak ditentukan. Divisi Siliwangi ditugaskan melancarkan infiltrasi jarak jauh kembali ke daerah juang asalnya, berperang gerilya bersama rakyat.

Muso Datang
Pada 11 Augustus 1948, Muso, tokoh komunis Indonesia pulang dari Moskow. Dalam pertemuan 13 Agustus 1948 dengan Presiden Soekarno, ketika kepadanya diminta untuk memperkuat perjuangan revolusi, Muso menjawab dengan singkat: Saya datang untuk menertibkan keadaan. Ternyata, yang dimaksudkannya untuk kepentingan FDR/PKI.
Kehadiran Muso mempunyai arti politis bagi gerakan komunis di Indonesia. Ia membawa “garis komunis internasional ortodoks“ ialah garis keras Zhadanov. Di tahun 1947, gerakan komunis internasional (Komintern) berubah haluan dan menempuh garis keras. Garis lunak Dimitrov yang dilakoni sejak 1935 yaitu bekerja sama dengan kapitalis untuk melawan fasisme sudah dikesampingkan.
Komintern diubah namanya menjadi Kominform (komunis reformasi). Angin perubahan dari Moskow ini yang dibawa Muso ke Indonesia. Ia ingin merombak organisasi yang dinilainya kurang revolusioner dan radikal. Dalam konferensi PKI pada 26-27 Augustus 1948, ia mengungkapkan garis Kominform yang telah berubah seraya mengajukan rencana-rencana baru yang dituangkannya di thesisnya: ”Jalan Baru untuk Republik Indonesia”.
Reformasi sosial yang dianjurkan tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dicanangkan FDR. Platform baru Muso adalah; ”harusnya perjuangan anti-imperialis Indonesia bersatu dengan Soviet Unie yang memelopori perjuangan melawan blok imperialis pimpinan Amerika Serikat”. Ia juga mendesak PKI, Partai Buruh terbesar, memegang pimpinan revolusi nasional.
Pada 31 Agustus 1948 PKI membuat perubahan drastis. FDR dibubarkan. Partai Buruh dan Partai Sosialis berfusi ke PKI. Disusun Polit Biro baru, Muso menjadi salah satu Sekjen. PKI yang semula beranggotakan 3.000 orang, menjadi 30 ribu orang. Organisasi massa (ormas) PKI kemudian merencanakan kongres koreksi dan merancang trace baru, jalur radikal dan keras.
Tanggal 13 September pecah peristiwa Solo, yakni tawuran antara pasukan Siliwangi (kesatuan reserve umum TNI) dengan pasukan TNI setempat dari Komando Pertempuran Panembahan Senopati yang telah diinfiltrasi FDR/PKI. Dalam rencana FDR/ PKI yang tertuang dalam dokumen “Menginjak Perjuangan Militer Baru”, kota Solo hendak dijadikan ”Wild West”, untuk menyesatkan perhatian atas rencana militer besar yang sebenarnya. Tetapi provokasi PKI ini dapat diatasi pasukan-pasukan yang setia kepada pemerintah

Penulis adalah master ilmu sejarah UI. Pernah jadi Panglima Kostrad dan Pangdam III/Siliwangi. Tulisan di atas adalah cuplikan dari bukunya yang akan terbit, “Yogyakarta”.

Copyright © Sinar Harapan 2003
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0509/19/opi01.html


Pemberontakan PKI 19 September 1948 (2-Habis)
Belanda Mengail di Air Keruh


Oleh
Himawan Soetanto


Pada 18 September 1948 pagi, Soemarsono selaku Gubernur Militer (PKI) dan atas nama pemerintah Front Nasional setempat, memproklamasikan tidak terikat lagi kepada RI pimpinan Soekarno-Hatta, dan memaklumkan pemerintah Front Nasional. Kekuatan militer PKI untuk melakukan makar adalah kesatuan-kesatuan Brigade XXIX eks Pesindo, pimpinan Kolonel Dachlan. Mereka bersenjata lengkap dan berpengalaman tempur.
Dari Madiun PKI menabuh genderang perang menantang RI. Dari Yogyakarta, pada 19 September jam 22:00, Presiden Soekarno berpidato keras antara lain: “….. Kemarin pagi Muso mengadakan kup dan mendirikan suatu pemerintahan Soviet di bawah pimpinan Muso. Perampasan kekua-saan ini dipandang sebagai permulaan untuk merebut seluruh pemerintahan RI. Ternyata peristiwa Solo dan Madiun tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan satu rantai-tindakan untuk merobohkan pemerintah RI”
“…… Bantulah pemerintah, bantulah alat-alat pemerintah dengan sepenuh tenaga, untuk memberantas semua bentuk pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah yang bersangkutan. Rebut kembali Madiun, Madiun harus segera di tangan kita kembali….”
Pada 20 September 1948 diadakan sidang Dewan Siasat Militer dipimpin PM/Menteri Pertahanan Hatta. Apabila tidak diadakan tindakan cepat menumpas PKI, Belanda akan melakukan intervensi. Angkatan Perang harus secepatnya merebut Madiun kembali. Kolonel A.H. Nasution sebagai kepala staf Operasi MBAP menyanggupi merebut kembali Madiun dalam waktu dua minggu.

Ancaman Belanda
Tantangan lain yang masih harus dihadapi RI pada September 1948 adalah ancaman agresi Militer Belanda. Perundingan diplomatik seusai Renville tidak berjalan lancar. Letjen Spoor, Panglima tentara Belanda yang meragukan penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui perundingan, sejak Februari telah merencanakan operasi militernya yang sewaktu-waktu dapat digerakkan untuk menuntaskan masalah secara militer once for all.
Rencana strategi yang dinilainya berhasil memenangkan agresi militer pertama (1947) disiapkan lagi, kali ini diberi sandi : “Operatie Kraai”.
Kekacauan di wilayah RI dan adanya pemberontakan PKI di Madiun dinilainya peluang strategis untuk melancarkan operasi militer besar: memadamkan pemberontakan komunis sekalian menamatkan riwayat RI.
Bila di Yogyakarta diadakan sidang Dewan Siasat Militer dipimpin PM Hatta untuk menumpas pemberontakan PKI-Muso, maka pada tanggal yang sama di Jakarta diadakan perundingan para pemimpin politik dan militer Belanda, dipimpin wakil wali negara, Abdulkadir Widjojoatmodjo.
Usul Jenderal Spoor untuk mempercepat agresi militer, disetujui. Diputuskan oleh sidang agar Abdulkadir minta izin kepada Pemerintah Pusat Belanda, agar diberi kuasa untuk segera bertindak, melancarkan operasi “Kraai”.
Ternyata Belanda urung melancarkan operasi militernya. Ini bukan karena Kabinet Belanda tidak merestui, tapi karena kalah cepat dengan operasi TNI. RRI Yogyakarta menyiarkan Brigade II Siliwangi dipimpin Letnan Kolonel Sadikin tanggal 30 September 1948 jam 04:00 petang membebaskan Madiun.
Ini berarti kurang dari dua minggu dari rencana operasi yang bergerak 21 September 1948 itu. Tidak selang lama di Madiun bergabung pula Brigade S pimpinan Letkol Surahmat dari Komando Tempur Djawa Timur. Operasi militer selanjutnya membebaskan kabupaten-kabupaten yang dikuasai PKI, yaitu Ponorogo, Magetan, Pacitan.

Gerakan PKI Dipadamkan
Pada akhir bulan Nopember 1948, seluruh operasi penumpasan PKI termasuk daerah-daerah sebelah utara Surakarta yaitu Purwodadi, Cepu, Blora, Pati, Kudus, dan lain-lain, selesai. Gerakan PKI dipadamkan dalam tempo 65 hari.
TNI melaksanakan konsolidasi, mempersiapkan diri menghadapi agresi Belanda. Sejarah mencatat, TNI tidak punya cukup waktu untuk melakukan konsolidasi dan mempersiapkan diri menghadapi agresi militer Belanda.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda kembali melancarkan agresi militer. Kali ini serangan kilat ditujukan langsung ke Ibu Kota RI Yogyakarta. Dalam waktu singkat Belanda menduduki kota-kota penting yang masih tersisa di wilayah RI. Pimpinan-pimpinan politik RI ditawan, tetapi mereka tidak berhasil menangkap pimpinan TNI.
TNI tetap utuh dan tidak bisa dihancurkan, karena pasukan TNI segera menyebar di daerah-daerah pengunduran yang luas (sesuai rencana strategi pertahanan yang telah digariskan dalam perintah siasat Panglima Sudirman). Belanda memaksa TNI melakukan perlawanan gerilya, suatu cara peperangan yang sangat sesuai bagi TNI.
Bila Belanda melancarkan strategi perangnya untuk menghancurkan, dengan tujuan untuk meniadakan/memusnahkan RI, yang dalam istilah Carl von Clausewitch Niederwerfungs-strategie, maka ia dihadapi oleh TNI dengan perang gerilya/bersama rakyat, yang berjangka waktu panjang dan menjemukan, yang menurut teori Hans Delbruck sebagai Ermattungskrieg.
Belanda diganggu terus menerus oleh pertempuran hit and run, dan diselingi perang diplomasi, yang menekan syaraf dan melelahkan.

Penulis adalah master ilmu sejarah UI. Pernah jadi Panglima Kostrad dan Pangdam III/Siliwangi. Tulisan di atas adalah cuplikan dari bukunya yang akan terbit, “Yogyakarta”.

Copyright © Sinar Harapan 2003
Sumber: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0509/20/opi02.html

Rabu, 21 April 2010

Peristiwa Madiun

Peristiwa/Pemberontakan Madiun, 19 September 1948

Peristiwa Madiun (atau Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.

Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun (Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan PKI. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun yang tidak baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.

Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama)

Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada AS.

Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan Sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit, Syam Kamaruzzaman, dll., melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Joko Suyono, Letkol Sudiarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreis III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Suparjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Untung Samsuri

Pada bulan Mei 1948 bersama Suripno, Wakil Indonesia di Praha, Musso, kembali dari Moskow, Rusia. Tanggal 11 Agustus, Musso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Musso, a.l. Mr. Amir Sjarifuddin Harahap, dr. Setiajid, kelompok diskusi Patuk, dll.

Aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai.

Banyak perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.


Tanggal 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur RM Ario Soerjo (RM Suryo) dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Ngawi. Ke 3 orang tersebut dibunuh dan mayatnya dibuang di dalam hutan.

Demikian juga dr. Muwardi dari golongan kiri, diculik dan dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya.

Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.

Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Domino Theory. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.

Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" Sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Sukiman, Menteri Dalam negeri, Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto, sedangkan di pihak Amerika hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Sukanto berangkat ke Amerika guna menerima bantuan untuk kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency - CIA

Diisukan, bahwa Sumarsoso tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari Pemerintah Pusat

Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Musso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.

Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Musso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Subroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Sungkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobiele Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin.

Panglima Besar Sudirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Musso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Musso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap.

Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Musso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Mr. Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948, atas perintah Kol. Gatot Subroto.

Sumber: http://swaramuslim.net/galery/more.php?id=A5724_0_18_0_M


Beberapa Catatan Untuk Diskusi Peristiwa Madiun 1948
Teater Utan Kayu, Jumat, 24 Juli 2009

Buku Soemarsono ini penting bukan hanya untuk meninjau ulang narasi utama dari negara (pemerintah orba atau tentara) tentang Peristiwa Madiun 1948, tapi juga mengkritisi ‘narasi resmi’ dai PKI, partainya sendiri menyangkut peristiwa 1948.Buku Soemarsono ini unik karena dia secara terus terang berani keluar dari sikap resmi patainya tekait dengan kejadian tersebut.

Mengkritisi “Narasi Resmi” PKI

Ada dua hal Fakta penting menyangkut penerbitan buku ini terkait dengan sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun;

Pertama; Sepertinya sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh DN Aidit, tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?

Jawaban Soemarsono bahwa dia tak punya bakat dan kemampuan menulis jelas tak cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Tampaknya misteri ini ada kaitannya dengan ’pengasingan politik’ yang dilakukan oleh partai (atau mungkin DN Aidit?) atas dirinya paska peristiwa Madiun ke Pematang Siantar di Sumatera Utara hampir 14 tahun lamanya. ’ Pengasingan politik” ini ditambah lagi dengan aturan bahwa ia tak boleh melakukan aktivitas politik dan mengaku sebagai anggota PKI. Dengan batasan seperti ini Soemarsono betul-betul tak punya ’ruang’ untuk memberi pertanggungjawaban atas peristiwa madiun kepada partainya ataupun kepada publik. Terlepas dari kesamaan analisa atas Peristiwa Madiun yang menghubungkannya dengan rencana besar perang dingin Amerika Serikat dibawah skenario ’red drive proposal”.

Kedua; Analisa politik Soemarsono mengaitkan peristiwa Madiun dengan skenario besar perang dingin ’red drive proposal’, persis sama dengan sikap resmi partai. Namun ada satu fakta yang dia nyatakan di buku ini, tapi tidak dinyatakan dalam sikap resmi PKI, yaitu tanggung jawab ’keterlibatan Soekarno’ dalam peristiwa tersebut akibat pidato politiknya. Kita tahu malam tgl 19 September Soekarno membuat pidato di radio yang menyatakan telah terjadi “perampasan kekuasaan di Madiun”, “pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso”, dan “coup yang terjadi di Madiun”. Dalam pidatonya Soekarno juga menyerukan “tindakan korektif” di bagian awal, lalu diakhiri dengan seruan “marilah kita basmi bersama”

Soemarsono mengagumi Soekarno dan mengaku sebagai muridnya, “tapi saya tidak fanatik kepada Soekarno”. Soemarsono menyebut “Soekarno ada positifnya, tapi juga ada negatifnya” .Menurutnya, Soekarno itu juga manusia yang mempunyai “segi baik-buruknya”, karena itu “dia bisa saja berbuat salah”. Ia mengatakan bahwa Soekarno berpihak pada Hatta untuk mendukung “Red Drive Proposal” karena ingin kemerdekaan Indonesia diakui oleh negara-negara Barat, “meskipun itu harus mengorbankan golongan kiri” karena itu “dalam Peristiwa Madiun, Bung Karno ya terlibat”.

Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata “mari kita basmi bersama” untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut DC Anderson, “Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan”

Hal ini membuat kita bertanya kepada misteri baru, mengapa sikap resmi PKI tidak menjadikan ”Soekarno’ sebagai salah satu pihak yang juga dituntut pertanggungjawabanaya atas peristiwa Madiun, secara politik Soekarno tetap mempunyai pengaruh, meskipun Hatta menjadi PM dalam sistem parlementer. Mungkinkah ’lolosnya’ Soekarno berkait dengan strategi partai yang sedang ’berakrab ria’ dengan sang presiden dan menghasilkan simbiosis mutualisma diantara keduanya.

Namun, Peristiwa Madiun tampaknya menjadi ‘duka tersembunyi’ Bung Karno. Di tahun 1960-an, pelukis terkenal S. Sudjojono bertemu dengan Soekarno dan mereka berbicara tidak hanya soal lukisan. Kita tahu bahwa Soekarno penggila seni dan terutama, lukisan, sehingga Istana Merdeka penuh dengan koleksi lukisan yang berkualitas dan bernilai tinggi. Tiba-tiba S Sudjojono bertanya.

“Bung Karno apa masih seorang Marxist?”

Soekarno terhenyak mendengar pertanyaan tersebut dan memandang heran ke arah Sudjojono.

“Tentu saja saya masih seorang Marxist, Bung. Ada apa kok Bung menanyakan itu?”

“ Kalau Bung seorang Marxis, kenapa Bung diam saja ketika Amir dan kawan-kawan dieksekusi di Madiun?” tanya Sudjojono

Soekarno terdiam, lalu butir-butir air mata mengalir di kedua pelupuk matanya.

Konsolidasi Tentara ”Dwi Fungsi TNI”

Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep ”Dwi Fungsi TNI” dibawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga penggagas utama dari gagasan TNI diluar “Dwi Fungsi” yaitu AMIR SJARIFUDDIN.

Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap.

Mungkin karena gagasan militernya tersebut, Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA) yang memajukan konsep tentara profesional dan kemudian kebablasan menjadi Dwi Fungsi TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.

Pemikiran Amir dalam militer ini, saya duga, menjadi salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ konseptor tentra diluar definisi Dwi Fungsi TNI.

Gagasan tentara rakyat Amir khas, tak mirip dengan konsep revolusioner Tentara Merah ala Bolshevik-Rusia atau Tentara Rakyat ala Mao Tse Tung. Kedua konsep tentara rakyat klasik tersebut menjadikan partai revolusioner sebagai pemimpin gerakan dan mengandalkan rakyat sebagai kekuatan pokok revolusi.

Konsep Amir berdasarkan kondisi kemiliteran Indonesia yang unik di masa kemerdekaan. Di satu sisi ada kesatuan militer formal yang merupakan warisan KNIL dan PETA serta mempunyai hirarki teritorial dan organisasi yang dinamakan TNI. Di sisi lain, ada organisasi laskar rakyat yang militan dan menjadi pejuang terdepan dalam mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II serta berbagai pertempuran heroik seperti di Surabaya di bulan November 1945.

Badan Pendidikan Tentara (BPT) dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada November 1945. Di bulan Februari 1946 badan ini berhasil membuat kurikulum yang meliputi lima bidang, yakni politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum. BPT dipimpin Soekono Djojopratigno. Pada Mei 1946 BPT berada di bawah Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan namanya berubah jadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Amir juga menyatakan dengan tegas bahwa Pepoloit tidak mengabdi pada satu partai atau pandangan politik tertentu, tapi mengabdi kepada UUD 1945. Pendidikan agama Islam di Pepolit membuat lembaga ini memperoleh dukungan dari Masjumi.

Tampaknya militer tidak menyukai intervensi sipil dalam proses pendidikan mereka. Isu politik pun dihembuskan. Pepolit disebut-sebut sebagai alat kaum sosialis meluaskan pengaruhnya. Karena itu tentara mulai melancarkan penolakan terhadap Pepolit. Salah seorang yang paling keras menentang pepolit adalah Kolonel Gatot Subroto, yang kelak memerintahkan eksekusi atas Amir Sjarifuddin. Gatot bahkan menolak Pepolit di kesatuannya. Ketegangan-ketegangan awal antara militer dengan sipil di Kementerian Pertahanan mulai terbuka dan akan terus meruncing seiring dengan dinamika politik masa revolusi. Inilah untuk pertama kalinya terlihat kecenderungan tentara menolak supremasi sipil.

Pada Mei 1946 Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk sebuah badan baru bernama Biro Perjuangan (BP). Tugas biro ini mengkoordinasikan laskar-laskar dan badan perjuangan yang didirikan partai politik. Pada Juni 1946, sehubungan dengan penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, negara mengeluarkan undang-undang dalam keadaan bahaya dan pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD).

DPN mengeluarkan aturan yang mengakui keberadaan laskar-laskar rakyat dalam organisasi militer di luar tentara resmi dan dibiayai oleh pemerintah. BP lalu membentuk inspektorat di daerah-daerah, yang kemudian dianggap sebagai rival oleh struktur tentara resmi dan menolak keberadaannya. Padahal BP dibentuk untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan tentara. BP hendak mereorganisasi dan mengkoordinasikan laskar-laskar rakyat agar tak bertindak menurut tujuan politik dan kepentingan kelompoknya sendiri atau saling berseteru dalam banyak kasus. Dengan kata lain, Amir hendak menciptakan semacam stabilitas politik dengan mengadopsi kepentingan laskar rakyat di bawah kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan membuat program-program pemerintah bisa berjalan. Pada Juli 1947 BP dibubarkan dan melebur dalam TNI.

Amir belum menyerah. Di bulan Agustus 1947 Kementerian Pertahanan kembali membentuk badan baru bernama TNI Bagian Masyarakat (TNI Masyarakat). Badan ini adalah penjabaran Amir atas konsep pertahanan rakyat semesta, yang berkaitan dengan situasi republik yang rawan dari agresi pihak luar.

Badan ini akhirnya dibubarkan ketika Hatta menjabat perdana menteri menggantikan Amir dan mencanangkan rasionalisasi. Konsep rasionalisasi di tubuh militer ini merupakan pembalikan dari semua gagasan Amir. Penerapannya berlanjut pada apa yang kita kenal sebagai Dwi Fungsi TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk membungkam demokrasi.

Pihak tentara tampaknya berhasil ’bermain di air keruh” peristiwa madiun dan mendapatkan keuntungan maksimal dengan menghabisi Amir Sjarifuddik dkk dengan menumpang dari ”pidato Soekarno” dan ‘peristiwa madiun”, tapi menterjemahkan pidato tersebut dengan tujuan-tujuan politik tentara sendiri. Seperti dikatakan oleh sejarawan D. C Anderson bahwa partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan “aturan main” di lapangan.

Hatta sendiri tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun agar diakhiri dengan cara politik dan jalur hukum. Seperti ditulis oleh DC Anderson bahwa “perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto”.

Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer dilapangan tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan. Namun kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, “Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi belanda kedua”.

Keterlibatan Soeharto

Salah satu fakta penting yang juga diungkap Soemarsono adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto adalah utusan resmi dari markas besar TNI yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengerai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun.

Soemamasono langsung yang menemui Soeharto dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun, bahkan dia dipesilakan meninjau tahanan dan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29’. Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung. Laporan itu harusnya di bawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.

Di sinilah missing link itu terejadi nampaknya. Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ketangan pimpinan TNI saat itu yaitu Jendral Soedirman atau tidak. Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta atas peristiwa madiun tidak berdasar laporan tersebut. Pertanyaannya adalah kalau Soeharto tidak menyampaikan laporan tersebut apa tujuannya? Kalau laporan itu sudah diberikan kepada pihak militer, lalu kenapa tindakan yang diambil justru operasi milier kupas tuntas? Ada juga rumor bahwa Soehrto saat itu adalah pendukung Tan Malaka. Kita tahu saat itu ada rivalitas antara FDR dengan pengikut Tan Malaka.

Peran Seoharto ini menurut saya harus ’diusut’ oleh sejarawan, karena sepertinya dia’ seperti ’selalu kebetulan’ muncul dalam berbagai krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.

Selamat berdiskusi

Manggarai, 24 Juli 2009

Wilson
Pemerhati Sejarah

Sumber: http://www.suryaden.com/content/beberapa-catatan-untuk-diskusi-peristiwa-madiun-1948

Missink Link Peristiwa Madiun 1948


BUKU Soemarsono, Revolusi Agustus, ini penting bukan hanya untuk meninjau ulang narasi utama dari negara (pemerintah orde baru atau tentara) tentang Peristiwa Madiun 1948, tapi juga mengkritisi ‘narasi resmi’ dari PKI (Partai Komunis Indonesia), partainya sendiri, menyangkut peristiwa 1948. Selain itu, buku Soemarsono ini unik karena dia secara terus terang berani keluar dari sikap resmi partainya, tekait dengan kejadian tersebut.

Mengkritisi “Narasi Resmi” PKI

Ada dua hal Fakta penting menyangkut penerbitan buku ini terkait dengan sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun;

Pertama, sepertinya sikap resmi PKI atas Peristiwa Madiun 1948 yang ditulis oleh DN Aidit, tidak melibatkan Soemarsono, Gubernur Militer yang dianggap memimpin ”pemberontakan” tapi lolos dari eksekusi ilegal yang dilakukan oleh Kolonel Gatot Subroto. Bukankah saat itu dia segar bugar dan PKI sedang tumbuh berkembang menjadi partai besar?

Jawaban Soemarsono bahwa dia tak punya bakat dan kemampuan menulis jelas tak cukup untuk menjawab pertanyaan di atas. Tampaknya, misteri ini ada kaitannya dengan ’pengasingan politik’ yang dilakukan oleh partai (atau mungkin DN Aidit?) atas dirinya, paska peristiwa Madiun ke Pematang Siantar di Sumatera Utara hampir 14 tahun lamanya. "Pengasingan politik” ini ditambah lagi dengan aturan bahwa ia tak boleh melakukan aktivitas politik dan mengaku sebagai anggota PKI. Dengan batasan seperti ini, Soemarsono betul-betul tak punya ’ruang’ untuk memberi pertanggungjawaban atas peristiwa Madiun kepada partainya ataupun kepada publik. Terlepas dari kesamaan analisa atas Peristiwa Madiun yang menghubungkannya dengan rencana besar perang dingin Amerika Serikat di bawah skenario "red drive proposal”.

Kedua, analisa politik Soemarsono mengaitkan peristiwa Madiun dengan skenario besar perang dingin ’red drive proposal’, persis sama dengan sikap resmi partai. Namun, ada satu fakta yang dia nyatakan di buku ini, tapi tidak dinyatakan dalam sikap resmi PKI, yaitu tanggung jawab ’keterlibatan Soekarno’ dalam peristiwa tersebut akibat pidato politiknya. Kita tahu, malam tgl 19 September, Soekarno membuat pidato di radio yang menyatakan telah terjadi “perampasan kekuasaan di Madiun”, “pemerintah Soviet di bawah pimpinan Musso”, dan “coup yang terjadi di Madiun.” Dalam pidatonya Soekarno juga menyerukan “tindakan korektif” di bagian awal, lalu diakhiri dengan seruan “marilah kita basmi bersama.”

Soemarsono mengagumi Soekarno dan mengaku sebagai muridnya, “tapi saya tidak fanatik kepada Soekarno." Soemarsono menyebut “Soekarno ada positifnya, tapi juga ada negatifnya.” Menurutnya, Soekarno itu juga manusia yang mempunyai “segi baik-buruknya”, karena itu “dia bisa saja berbuat salah.” Ia mengatakan, Soekarno berpihak pada Hatta untuk mendukung “Red Drive Proposal” karena ingin kemerdekaan Indonesia diakui oleh negara-negara Barat, “meskipun itu harus mengorbankan golongan kiri” karena itu “dalam Peristiwa Madiun, Bung Karno ya terlibat.”

Soemarsono tampak kecewa terhadap isi pidato Soekarno yang diakhiri dengan kata “mari kita basmi bersama” untuk mengatasi peristiwa Madiun. Dan menurut DC Anderson, “Akibat dari pidato presiden atas kelompok FDR-PKI di Madiun benar-benar mematikan”

Hal ini membuat kita bertanya kepada misteri baru, mengapa sikap resmi PKI tidak menjadikan ”Soekarno’ sebagai salah satu pihak yang juga dituntut pertanggungjawabannya atas peristiwa Madiun? Secara politik Soekarno tetap mempunyai pengaruh, meskipun Hatta menjadi PM dalam sistem parlementer. Mungkinkah ’lolosnya’ Soekarno berkait dengan strategi partai yang sedang ’berakrab-ria’ dengan sang presiden dan menghasilkan simbiosis mutualisma di antara keduanya?

Namun, Peristiwa Madiun tampaknya menjadi ‘duka tersembunyi’ Bung Karno. Di tahun 1960-an, pelukis terkenal S. Sudjojono bertemu dengan Soekarno dan mereka berbicara tidak hanya soal lukisan. Kita tahu bahwa Soekarno penggila seni dan terutama, lukisan, sehingga Istana Merdeka penuh dengan koleksi lukisan yang berkualitas dan bernilai tinggi. Tiba-tiba S Sudjojono bertanya.

“Bung Karno apa masih seorang Marxist?”

Soekarno terhenyak mendengar pertanyaan tersebut dan memandang heran ke arah Sudjojono.

“Tentu saja saya masih seorang Marxist, Bung. Ada apa kok Bung menanyakan itu?”

“Kalau Bung seorang Marxis, kenapa Bung diam saja ketika Amir dan kawan-kawan dieksekusi di Madiun?” tanya Sudjojono

Soekarno terdiam, lalu butir-butir air mata mengalir di kedua pelupuk matanya.

Konsolidasi Tentara ”Dwi Fungsi TNI”

Peristiwa Madiun juga dapat dipandang sebagai momentum politik dari kekutan militer pengusung konsep ”Dwi Fungsi TNI” di bawah pengaruh Jendral Nasution untuk membersihkan, tidak saja seluruh ‘tentara kiri’ dan unsur “laskar rakyat” tapi juga penggagas utama dari gagasan TNI di luar “Dwi Fungsi” yaitu AMIR SJARIFUDDIN.

Pemikiran-pemikiran militer Amir merupakan hal yang jarang dimiliki pemimpin politisi sipil. Kebanyakan pemikiran militer dikembangkan oleh para perwira militer itu sendiri, atau kalaupun ada intelektual sipil yang dilibatkan ia hanya sebagai pelengkap.

Mungkin karena gagasan militernya tersebut, Amir menjadi politisi sipil yang paling dibenci para perwira militer yang berlatar belakang (KNIL) dan (PETA), yang memajukan konsep tentara profesional dan kemudian kebablasan menjadi Dwi Fungsi TNI (Tentara Nasional Indonesia), yang menempatkan TNI sebagai kekuatan ‘supra rakyat’ yang mengendalikan rakyat, bukan bagian dari rakyat itu sendiri.

Pemikiran Amir dalam militer ini, saya duga, menjadi salah satu faktor mengapa Amir ‘dihabisi’ oleh Kolonel Gatot Subroto pada 1948, dalam kerangka ”memusnahkan’ konseptor tentara di luar definisi Dwi Fungsi TNI.

Gagasan tentara rakyat Amir khas, tak mirip dengan konsep revolusioner Tentara Merah ala Bolshevik-Rusia atau Tentara Rakyat ala Mao Tse Tung. Kedua konsep tentara rakyat klasik tersebut menjadikan partai revolusioner sebagai pemimpin gerakan dan mengandalkan rakyat sebagai kekuatan pokok revolusi. Konsep Amir berdasarkan kondisi kemiliteran Indonesia yang unik di masa kemerdekaan. Di satu sisi ada kesatuan militer formal yang merupakan warisan KNIL dan PETA serta mempunyai hirarki teritorial dan organisasi yang dinamakan TNI. Di sisi lain, ada organisasi laskar rakyat yang militan dan menjadi pejuang terdepan dalam mempertahankan Republik Indonesia dari Agresi Belanda I dan II serta berbagai pertempuran heroik seperti di Surabaya di bulan November 1945.

Badan Pendidikan Tentara (BPT) dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibentuk pada November 1945. Di bulan Februari 1946, badan ini berhasil membuat kurikulum yang meliputi lima bidang, yakni politik, agama, kejiwaan, sosial dan pengetahuan umum. BPT dipimpin Soekono Djojopratigno. Pada Mei 1946 BPT berada di bawah Kementerian Pertahanan yang dipimpin Amir Sjarifuddin dan namanya berubah jadi Pendidikan Politik Tentara (Pepolit). Amir juga menyatakan dengan tegas bahwa Pepoloit tidak mengabdi pada satu partai atau pandangan politik tertentu, tapi mengabdi kepada UUD 1945. Pendidikan agama Islam di Pepolit membuat lembaga ini memperoleh dukungan dari Masjumi.

Tampaknya, militer tidak menyukai intervensi sipil dalam proses pendidikan mereka. Isu politik pun dihembuskan. Pepolit disebut-sebut sebagai alat kaum sosialis meluaskan pengaruhnya. Karena itu tentara mulai melancarkan penolakan terhadap Pepolit. Salah seorang yang paling keras menentang pepolit adalah Kolonel Gatot Subroto, yang kelak memerintahkan eksekusi atas Amir Sjarifuddin. Gatot bahkan menolak Pepolit di kesatuannya. Ketegangan-ketegangan awal antara militer dengan sipil di Kementerian Pertahanan mulai terbuka dan akan terus meruncing seiring dengan dinamika politik masa revolusi. Inilah untuk pertama kalinya terlihat kecenderungan tentara menolak supremasi sipil.

Pada Mei 1946 Amir Sjarifuddin sebagai menteri pertahanan membentuk sebuah badan baru bernama Biro Perjuangan (BP). Tugas biro ini mengkoordinasikan laskar-laskar dan badan perjuangan yang didirikan partai politik. Pada Juni 1946, sehubungan dengan penculikan atas Perdana Menteri Sjahrir, negara mengeluarkan undang-undang dalam keadaan bahaya dan pembentukan Dewan Pertahanan Negara (DPN) dan Dewan Pertahanan Daerah (DPD).

DPN mengeluarkan aturan yang mengakui keberadaan laskar-laskar rakyat dalam organisasi militer di luar tentara resmi dan dibiayai oleh pemerintah. BP lalu membentuk inspektorat di daerah-daerah, yang kemudian dianggap sebagai rival oleh struktur tentara resmi dan menolak keberadaannya. Padahal BP dibentuk untuk membantu menyelesaikan masalah yang terjadi di kalangan tentara. BP hendak mereorganisasi dan mengkoordinasikan laskar-laskar rakyat agar tak bertindak menurut tujuan politik dan kepentingan kelompoknya sendiri atau saling berseteru dalam banyak kasus. Dengan kata lain, Amir hendak menciptakan semacam stabilitas politik dengan mengadopsi kepentingan laskar rakyat di bawah kepemimpinan Kementerian Pertahanan dan membuat program-program pemerintah bisa berjalan. Pada Juli 1947 BP dibubarkan dan melebur dalam TNI.

Amir belum menyerah. Di bulan Agustus 1947 Kementerian Pertahanan kembali membentuk badan baru bernama TNI Bagian Masyarakat (TNI Masyarakat). Badan ini adalah penjabaran Amir atas konsep pertahanan rakyat semesta, yang berkaitan dengan situasi republik yang rawan dari agresi pihak luar.

Badan ini akhirnya dibubarkan ketika Hatta menjabat perdana menteri menggantikan Amir dan mencanangkan rasionalisasi. Konsep rasionalisasi di tubuh militer ini merupakan pembalikan dari semua gagasan Amir. Penerapannya berlanjut pada apa yang kita kenal sebagai Dwi Fungsi TNI di masa Orde Baru, yang selama kekuasaan Soeharto menjadi pondasi untuk membungkam demokrasi.

Pihak tentara tampaknya berhasil ’bermain di air keruh” peristiwa madiun dan mendapatkan keuntungan maksimal dengan menghabisi Amir Sjarifuddik dkk dengan menumpang dari ”pidato Soekarno” dan ‘peristiwa madiun”, tapi menterjemahkan pidato tersebut dengan tujuan-tujuan politik tentara sendiri. Seperti dikatakan oleh sejarawan D. C Anderson bahwa partai-partai politik bisa saja melakukan aliansi taktis dengan kelompok militer, baik di pusat maupun di regional, namun partai-partai politik tersebut tidak dalam posisi yang menentukan “aturan main” di lapangan.

Hatta sendiri tampaknya juga tidak dapat mengendalikan operasi militer di Madiun agar diakhiri dengan cara politik dan jalur hukum. Seperti ditulis oleh DC Anderson bahwa “perencanaan secara terperinci atas operasi penumpasan keseluruhan berada di tangan Nasution dan Gatot Subroto”.

Ketakberdayaan ‘keputusan politik pusat’ atas pimpinan militer dilapangan tampak dari instruksi Hatta yang juga menjabat sebagai menteri pertahanan kepada Gatot Subroto, gubernur militer Surakarta, agar menahan para pemimpin yang terkait peristiwa Madiun dan membawanya ke pengadilan. Namun kita tahu, Gatot Subroto melakukan eksekusi atas Amir Syarifuddin dan kawan-kawan tanpa ada proses pengadilan. Hatta menganggap keputusan itu diambil sendiri oleh Gatot Subroto. Namun, menurut Mavis Rose, penulis buku biografi politik Hatta, “Hatta tampaknya berusaha membersihkan namanya sendiri, karena Gatot pernah menyatakan bahwa ia melakukan eksekusi karena perintah Hatta agar mereka tidak melarikan diri dan dapat kembali berkuasa setelah agresi belanda kedua”.

Keterlibatan Soeharto

Salah satu fakta penting yang juga diungkap Soemarsono, adalah keterlibatan almarhum mantan presiden Soeharto dalam Peristiwa Madiun. Soeharto adalah utusan resmi dari markas besar TNI, yang dikirim untuk melakukan semacam investigasi atas kejadian ’clash’ antara kesatuan brigade 29 dan ’pasukan gelap’ yang ditengarai telah melakukan penculikan dan provokasi di Madiun.

Soemamasono langsung yang menemui Soeharto dan mengecek situasi dengan bekeliling Madiun. Bahkan, dia dipersilahkan meninjau tahanan dan dan bertemu dengan ‘pasukan gelap’ yang ditangkap oleh ’brigade 29.’ Setelah kunjungan berakhir, Soemarsono membantu membuat laporan tentang kondisi di Madiun yang dia tanda tanggani langsung. Laporan itu harusnya dibawa Soeharto ke pimpinan TNI di Yogyakarta.

Di sinilah missing link itu terjadi. Tidak jelas apakah laporan pencarian fakta Soeharto sampai ke tangan pimpinan TNI saat itu, yaitu Jendral Soedirman atau tidak. Ada dugaan laporan itu tak pernah sampai, sehingga keputusan politik Soekarno-Hatta atas peristiwa Madiun, tidak berdasar laporan tersebut. Pertanyaannya, kalau Soeharto tidak menyampaikan laporan tersebut apa tujuannya? Kalau laporan itu sudah diberikan kepada pihak militer, lalu kenapa tindakan yang diambil justru operasi militer kupas tuntas? Ada juga rumor bahwa Soehrto saat itu adalah pendukung Tan Malaka. Kita tahu saat itu ada rivalitas antara FDR dengan pengikut Tan Malaka.

Peran Seoharto ini menurut saya harus ’diusut’ oleh sejarawan, karena sepertinya dia "seperti selalu kebetulan" muncul dalam berbagai krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.***

Wilson, Pemerhati Sejarah.

Artikel ini merupakan makalah yang disampaikan dalam diskusi buku karya Soemarsono, Revolusi Agustus, di Teater Utan Kayu, Jumat, 24 Juli 2009.

Sumber: http://indoprogress.com/index.php?option=com_content&view=article&id=440:missing-link-peristiwa-madiun-1948&catid=108:sejarah&Itemid=562

Peristiwa Madiun 1948,
Hasil Persekongkolan Dan Provokasi Kaum Reaksioner
( bag. I )

S. Kromorahardjo

Pada tanggal 27 Juni 1947 Kabinet Sjahrir jatuh. Sebagal ganti kabinet Sjahrir, pada tanggal 3 Juli 1947 terbentuk kabinet Amir Sjarifudin yang terdiri dari 11 orang Sayap Kiri, 7 orang dari PNI dan 8 orang dan PSII. Masyumi yang semula ikut duduk dalam kabinet Sjahrir, dalam kabinet Amir ini Masyumi menolak untuk ikut duduk. Tetapi PSII sebagai anggota Masyumi telah mengambil keputusan sendiri untuk ikut duduk dalam kabinet bersama dengan PM dan Sayap Kiri. Juga tak seorangpun dari grup Sjahrir dalam Partai Sosialis yang ikut duduk dalam kabinet Amir melanjutkan perundingan dengan Belanda, yang telah dirintis oleh kabinet Syahrir, dengan tetap mempertahankan kehadiran negara RI, tetap mempertahanakan pengakuan berbagai negara terhadap RI dan tetap menolak gendarmeri bersama RI-Belanda. Hal-hal ini yang menjadikan perundingan antara RI-Belanda tidak lancar dan hambatan utamanya ialah masalah gendameri bersama.

Tanggal 15 Juli van Mook mengultimatum supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. RI menolak ultimatum Belanda ini. Tanggal 21 Juli 1947 dilancarkan agresi militer terhadap Republik dengan maksud samasekali menghancurkan Republik. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Belanda mengakhiri agresinya.

Belanda berhasil merebut daerah ekonomi yang sangat penting dari Republik, seperti: minyak, perkebunan, tambang, kota pelabuhan. Tak kebetulan bahwa agresi Belanda ini menggunakan kode "Operatie Product".

Setelah gencatan senjata dipulihkan kembali perundingan RI- Belanda di bawah pengawasan Komisi Tiga Negara yang terdiri dan Australia, Belgia dan Amerika. Dari fihak Republik, PM Amir bertindak sebagai ketua delegasi.

Sementara itu van Mook, pada tanggal 29 Agustus 1947, secara sefihak telah menggeser garis demarkasi yang sangat menguntungkan fihak Belanda dari segi perluasan daerah. Beberapa bulan kemudian (11 November 1947) akhirya Masyumi mau masuk kabinet dengan mendapat empat buah kursi.

Dari perundingan RI-Belanda, di atas kapal Amerika yang bernama Renville, pada tanggal 17 Januari 1948 telah ditandatangani Persetujuan Renville.

Dalam Persetujuan Renville tercantum antara lain fasal yang menyatakan, bahwa RI harus menarik semua pasukan yang berada di kantong-kantong yang terdapat di belakang garis demarkasi hasll 'ciptaan' van Mook dan harus dimasukkan ke daaerah Republik. PNI dan Masyumi yang semula ikut mendukung perundingan Renville dan ikut berunding sebagai anggota delegasi, menjelang penandatanganan perundingan menyatakan menarik diri dari delegasi dan kabinet, dan setelah penandatanganan PNI menarik dukungan terhadap persetujuan Renville. Dengan demikian kabi net Amir kehilangan dukungan dua partai besar dan pada tanggal 23 Januari 1948 kabinet Amir mengundurkan diri. Mengenai tindakan Masyumi dan PNI terhadap penandatanganan Renville Sumarsono berpendapat, bahwa oposisi yang dilakukan kedua partai itu adalah hanya suatu cara untuk mengeluarkan Sayap Kiri dan pemerintahan.

Pada tanggal 29 Januari 1948 Hatta naik panggung kekuasaan dimana ikut duduk PNI dan Masyumi, dengan Hatta sebagai PM merangkap menteri pertahanan dan Sukiman sebagai menteri dalam negeri. Program kabinet Hatta antara lain yalah: berunding dengan Belanda atas dasar persetujuan Renville dan rasionalisasi.

Sampai saat diadakannya reorganisasi dan rasionalisasi (re-ra) oleh PM Hatta, di antara laskar-laskar perjuangan yang ada, maka Pesindo merupakan laskar bersenjata yang terkuat Jumlah pasukannya terbesar, disiplinnya yang paling baik dan persenjataannya terlengkap. Kesatuannya tersebar di setiap kabupaten JaTim dan JaTeng, beberapa kabupaten di JaBar dan malahan sampai ke SumUt. Kekuatan laskar bersenjata Pesindo, kalau tidak dapat dikatakan melebihi, maka paling sedikit sama dengan TRI, tentara Pemerintah.

Pada tanggal 3 Juli 1946, Tan malaka beserta orang-orangnya melakukan kup terhadap pemerintahan Sjahrir. Kup ini dilancarkan oleh Divisi III/Sudarsono, yang berteritorium Yogyakarta. Suharto (Presiden RI sekarang), yang waktu itu komandan resimen Yogyakarta, diperintahkan oleh Presiden Sukarno, gagal. Malah Sjahrir diculik oleh golongan kup.

Karena Suharto gagal dalam menangkap Tan Malaka, maka bergeraklah pasukan dari kesatuan- kesatuan Pesindo JaTim dan berhasil membebaskan Sjahrir.

Dengan berhasilnya kesataan Pesindo menggagalkan kup Tan Malaka ini maka prestise Pesindo menjadi sangat tinggi di kalangan laskar bersenjata.

Dari kesatuan-kesatuan Pesindo yang ada maka kesatuan 'Divisi Surabaya' (JaTim) adalah yang terkuat. Perbandingan antara bedil dan orang adalah satu banding empat (di dalam divisi Nasution/JaBar, pada waktu itu, hanya terdapat seratus pucuk senjatal.). Dengan demikian kekuatan tempur riel (artinya; satu orang dengan satu bedil) adalah kurang lebih satu resimen (=3 batal yon = 3x800 orang) dengaan Overste (letKoI) Sidik Arselan sebagai komandan. Setelah re-ra, kesatuan ini menjadi Be (Brigade) 29 dengan Overste Mohammad (Aldimad) Dahlan sebagai komandan, yang belakangan menjadi tulangpunggung dalam Perlawanan Madiun.

Untuk menentukan garis barunya, Sayap Kiri pada tanggal 26 Februari 1948 mengadakan kongres di Solo. Kongres memutuskan untuk membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Setelah kongres cabang-cabang FDR segera terbentuk di kota-kota kabupaten seluruh daerah Republik, terutama di JaTim dan Jateng. FDR beranggotakan, pada pokoknya, sama dengan keanggotaan Sayap Kiri.

Setelah terbentuknya FDR ini, dalam pidato-pidato pimpinan FDR (Amir, Maruto Darusman, Setiadjid dan yang lain-lain) di berbagai tempat, sasaran serangan hanya ditujukan kepada Masyu mi, terutama terhadap Sukirnan sebagai menteri dalam negeri. Sedangkan masalah yang diangkat adalah soal berbagai macam pajak. FDR mengandalkan kekuatannya pertama, pada kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI dan ini memang cukup besar jumlahnya dan kedua, pada kekuatan bersenjata yang dimilikinya. Kekuatan bersenjata yang diandalkan ini terutama laskar bersenjata Pesindo dan di samping itu FDR masih dapat memperhitungkan simpati-simpati sejumlah besar perwira yang mempunyai kedudukan kunci di dalam TNI (tentara resmi Pemerintah) dan TNI-Masyarakat terhadap FDR.

Denga terbentuknya Sekretariat yang baru dari FDR maka tenaga Sekretariat kebanyakan diisi oleh tenaga muda, antara lain sepeuti Sudisman, Aidit, Njoto dan Lukman yang belakangan dipindah ke majalah Bintang Merah.

Sebagai ilustrasi, dapat dikatakan di sini, bahwa kesatuan empat serangkai Aidit-Lukman- Njoto-Sudisman telah terbentuk sejak masa Sekretariat FDR ini. Belakangan, mereka berempat beserta sejumlah orang muda yang lain menyebut dirinya "kekuatan baru" atau "generasi baru".

Sejak Republik baru berdiri grup Tan Malaka selalu bertindak sebagai fihak oposisi terhadap Pemerintah, di samping sebagai grup anti-Komunis.

Dalam menghadapi kabinet Hatta, grup Tan Malaka bersikap mendukung pemerintah Hatta dan bergabung dalam Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang didirikan pada tanggal 6 Juni 1948. Karena grup Tan Malaka mendukung kabinet Hatta, maka sebagal 'hadiah' semua tahanan kup 3 Juli, yang semuanya adalah pendukung Tan Malaka, termasuk Tan Malaka sendiri, dibebaskan oleh Hatta dengan alasan pengadilan tiada bukti.

Banyak anggota FDR yang merasa kecewa terhadap persetu juan Renville, penarikan TNI dari kantong-kantong dan di atas semuanya adalah pengunduran diri Kabinet Amir, yang dipandang merupakan Iangkah yang salah. Tetapi karena, di muka mata angggota maupun pimpinan FDR, otoritas Amir Sjarifudin sangat tinggi maka semua kesalahan bukan ditimpakan kepada Amir.

Kesalahan ditimpakan kepada 'policy maker', yaitu lingkaran dalam Amir dari Dewan-Partai Partai Sosialis yang sebagian anggotanya berasal dari Politbiro CCPKI-ilegal yang dipimpin oleh Tan Ling Djie.

Dalam situasi Sayap Kiri, dan selanjutnya FDR, sedang diselimuti oleh pertentangan intern yang menyangkut masalah pokok revoIusi yang belum dapat terselesaikan dan sebagian anggota maupun pimpinan FDR terkena kekecewaan, maka pada tanggal 11 Agustus datanglah Muso.

Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok berhasil terus meng giring pasukan Chiang Kai-shek menuju ke selatan. Pasukan Vietminh, di bawah pimpinan Partai Bur Vietnam, telah setahun berhasil mempertahankan perjuangan bersenjatanya melawan agresor Perancis. Kaum gerilya Hukbalahap di Filipina, yang berpusat di Luzon Tengah, telah memperluas operasinya.

Di Malaya, di samping kaum buruh melakukan pemogokan besar- besaran, pada bulan Juni 1948 Partai Komunis Malaya melancarkan pemberontakan bersenjata melawan penjajah Inggris. PK Birma yang dipimpin oleh Thakin Than Tim, menolak persetujuan perjajian Inggris-Birma yang ditandatangani oleh U Nu pada bulan Januari 1948; oleh Thakin Than Tim bersama Partainya, pemerintah U Nu disebut sebagai "alat imperialis Ingrris" dan diserukan untuk menggulingkannya; pada bulan Maret Thakin memimpin Partai melancarkan perjuangan bersenjata.

Pada bulan Februari di Kalkuta diadakan "Konferensi Pemuda Mahasiswa Asia yang berjuang untuk Kebebasan dan Kemerdekaan". Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil antara lain dan Tiongkok, Birma, Malaya, Indonesia.

Seiring dengan perkembangan gerakan revolusioner di ber bagai negeri itu, Amerika Serikat berusaha mencari tumpuan di mana-mana, termasuk di negeri-negeri Asia yang berbatasan dengan Lautan Teduh. Indonesia yang mempunyai letak strategis dan kaya alamnya dipandang oleh Amerika sebagai tempat yang masih 'kosong'. Sejak 17 Agustus 1945 Amerika melihat suatu kenyataan bahwa di Indonesia telah lahir sebuah Republik yang didukung oleh seluruh rakyat. Bukan karena kebaikan hati Amerika bilamana Amerika cenderung "merestui" lahirnya Republik ini. Sebab bilamana penjajah Belanda sampai kembali menguasai Indonesia maka, menurut Amerika, keadaan di indonesia takkan pernah tenteram. Situasi Indonesia yang demikian takkan menguntungkan "strategi sedunia" Amerika. Maka bagi Amerika akan lebih menguntungkan bilamana Indonesia menjadi negeri yang merdeka, tetapi dikuasai oleh orang yang dapat dikendalikan oleh Amerika. Beruntunglah Amerika, karena di Indonesia muncul orang yang dikehendakinya, yaitu Mohamad Hatta.

Setelab FDR berdiri dan mulai aktif, usaha pertama yalah mengadakan turne, penjelasan keliling ke daerah-daerah. Penjelasan keliling ini antara lain dilakukan oleh: Amir Sjarifudin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Setiajid (PBI) dan Krissubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan waktu penjelasan keliling ini wakil-wakil FDR menjelaskan kepada rakyat tentang politik FDR; sikap clan pembelejetan terhadap pemerintah Hatta, khususnya masalah re-ra dalam Angkatan Perang; menjawab fitnahan-fitnahan kaum reaksioner, khususnya Murba; yang memalsu dokumen FDR; dan tuntutan berdirinya Front Nasional.

Di samping penjelasan keliling sebagai kegiatan FDR, kaum buruh yang tergabung dalam SOBSI juga mengadakaan aksi, a.l. tuntutan kenaikan jaminan sosial oleh anggota Sarbupri/Sobsi Delanggu/Solo.

Pada tanggal 2 Juli 1948, jam 8 malam, Sutarto, Komandan Divisi Pertempuran Panembahan Senopati (DPPS), secara pengecut ditembak dari belakang.

Penembakan terhadap Sutarto dengan cara demikian ada yang menyebut "rasionalisasi dengan cara lain".

Pada bulan Mei 1948, berdasar peraturan rasionalisasi, Sutarto yang divisinya kompak dan persenjataannya cukup baik, dinayatakan non-aktif dan pasukannya diperintahkan melapor kepada Markas Besar di Yogya. Sutarto bersama komando bawah annya menentang perintah Markas Besar ini. Sikap Sutarto beserta perwiranya ini didukung oleh kekuatan Kiri di Solo beserta laskar- laskar yang menentang re-ra. Untuk menyatakan dukungannya, pada tanggal 20 Mei, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional, di Solo terjadi demonstrasi protes yang besar menentang re-ra pemerintah Hatta. Demonstrasi ini juga diikuti oleh parade, sekaligus protes, oleh beberapa batalyon bersenjata lengkap dan berat dari Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI). Dalam parade dan demonstrasi tersebut diserukan dukungan terhadap kelanjutan Sutarto sebagai komandan divisi dan tuntutan agar Pemerintah membatalkan re-ranya.

Pada bulan Juli di dalam Divisi IV diadakan 'reorganisasi sendiri'. Divisi IV berubah nama menjadi 'Divisi Pertempuran Panembahan Senopati' (DPPS).

'Reorganisasi sendiri' yang diadakan oleh Panembahan Senopati ini jauh dari keinginan, apalagi melegakan, Hatta dan Nasution di Yogya. Sebab: jumlah anak buah, personalia dan kedudukan komandan dan pembagian senjata di dalam DPPS adalah sama dengan di dalam Divisi Panembahan Senopati yang semula.

Setelah Sutarto tertembak, komandan DPPS dipegang oleh LeKol Suadi.

Mengenai rasionalisasi di kalangan Angkatan Bersenjata, pada tanggal 2 September 1948, Hatta di muka sidang BP-KNIP menyatakan antara lain bahwa:

"Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...; "... berpedoman kepada cita-cita "satu tentara, satu komando"; "... dalam bentuk dan susunan yang efektif'; "...mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil". Fikiran Hatta ini tidak jatuh dari langit. Beberapa peristiwa yang dapat dicatat adalan sebagai berikut.

Pada Het Corps Algemene Politie te Batavia laporan yang sangat rahasia bertanggal 1 April 1948 dan berbunyi antara lain se bagai berikut:

"Sementara itu telah diadakan pertemuan rahasia antara Graham, Sukarno dan Sukiman. Graham menyatakan, bahwa Indonesia dianggap layak untuk dimasukkan dalam pelaksanaan bantuan rencana Marshall (Marshall-plan) untuk Asia Tenggara dan agar supaya pemerintah membendung semua kegiatan Sayap Kiri".

Untuk pelaksanaan rasionalisasi di kalangan angkatan bersenjata pada tanggal 8 Mei 1948 telah diadakan rapat Dewan Siasat Militer yang dihadir oleh Hatta bersama pimpinan Angkatan Bersenjata: Sudirman, Nasution, Latif, Subjakto dan Surjadarma.

Dalam rapat ini dibicarakan dua hal. Pertama, yang disetujui oleh semua yang hadir, TNI-Masyarakat secepat mungkin dibubarkan. Mengenai soal ini Nasution berpendapat, bahwa TNI- Masyarakat pada prinsipnya telah dibubarkan. Kedua, Hatta bersedia memberikan basis militer kepada Amerika, yang ditukar dengan senjata. RI yang belum berumur tiga tahun ini oleh Hatta telah dijual kepada Amerika.

Seiring dengan peristiwa itu John Coast, G. Hopkins dan 5 orang "diplomat" Amerika Iainnya dipindalikan dari Bangkok dan New Delhi ke ibukota RI. Pemindahan mereka ini bukan kebetulan. Pada tanggal 21 Juli 1948 secara rahasia telah diadakan pertemuan di hotel "Huisje Hansje" Sarangan (Madiun). Pertemuan itu dihadiri oleh: Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (wakil baru Amerika, pengganti Graham, dalam Komisi Jasa-jasa Baik), Sukarno, Hatta, Sukiman (ketua Masyumi dan menteri dalam negeri), Mokhamad Rum (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Sukanto (menurut: Roger Vailland dalam buku "Borobudur"). Dalam pertemuan ini tidak hadir orang dari PNI. Dalam pertemuan Sarangan ini, yang belakangan terkenal dengan sebutan "Perundingan Sarangan", dihasilkan "Red Drive Proposals" atau usul-usul Pembasmian Kaum Merah" Setelah pertemuan Sarangan ini, atas laporan Cochran, State Department (Kementerian Luar Negeri A.S.) berpendapat bahwa posisi Hatta harus cepat diperkuat agar supaya dapat menahan Perkembangan Komunisme. Setelah pertemuan Sarangan ini pula Kepala Polisi Sukanto dikirim ke Amerika untuk mengurus bantuan. Temyata tidak tanggung-tangggng bantuan yang diterima oleh Hatta: 56 juta dollar AS dari State Department Amerika. Uang ini oleh Hatta antara lain untuk memperlengkapi pasukanan dalam Pemerintah, divisi Siliwangi. Jadi kalau Hatta di depan BP-KNIP mengajukan masalah: "Mestikah kita bangsa Indonesia, yang memperjuangkan bangsa dan negara kita, hanya harus memilih antara pro Rusia dan pro Amerika?",. maka jawabnya yalah peristiwa- peristiwa di atas.

Dalam bulan Agustus, tanpa kehadiran Panglima Sudirman, pimpinan angkatan darat menagadakan sidang. Sidang itu mensinyalir adanya "ancaman" PKI terhadap jalan perundingan dengan Belanda, keamanan dalam negeri dan rasionalisasi. Dalam sidang itu Nasution menyatakan kesediaannya menggunakan divisi Siliwangi untuk mengancurkan pengaruh Komunis.

Dalam pidato di muka BP-KNlP mengenai rasionalisasi Hatta juga menyatakan, bahwa:"... di sinilah terdapat pemakaian tenaga yang tidak lagi produktif.."; "...angkatan perang yang jumlahnya 463.000 orang tidak dapat dibelanjai oleh negara... Rasionalisasi yang kita tuju ialah penyempurnaan dan pembangunan yang meringankan beban masyarakat beserta mengurangkan penderitaan rakyat". Alasan yang nampaknya logis dan menarik ini sebenarnya hanya dalih. Sasaran tombak reorganisasi dan rasionalisasi Hatta tetap pada pasukan yang berbau "Kiri".

Ide Hatta-Nasution mengenai re-ra dan pembentukan "tentara yang efektif" sebenarnya bertolak dari persekutaan, yang dimulai sejak berdirinya kabinet Hatta pada Januari 1948, antara politisi yang pro Amerika yang dipelopori oleh Hatta dan Masyumi di satu fihak dan para perwira "profesional" yang dipelopori oleh Nasution dan Simatupang di fihak lain. Tujuan bersama persekutuan itu ialah melaksanakan ide: mendemobiliser laskar "yang sedikit banyak dipengaruhi oleh organisasi Komunis"; menyingkirkan perwira-perwira yang "tidak dapat dipercaya"; posisi pimpinan hanya diberikan kepada "perwira-perwira profesional" dan tipe tentara mendatang yang dikehendaki yalah tipe tentara Divisi Siliwangi (yang notabene dipimpin oleh Nasution) dan Corps Polisi Militer (yang dipimpin oleh Gatot Subroto).

Sumber: Arena no: 21 '90-'97
Sumber: http://dpyoedha.multiply.com/journal/item/247/Peristiwa_Madiun_1948_Hasil_Persekongkolan_Dan_Provokasi_Kaum_Reaksioner_